Tragedi Masjidil Haram 1979: Pendudukan Juhaiman & Kisah Pilu Makkah

Tahun 1979 menjadi tahun kelam bagi Makkah, Arab Saudi. Serangan bersenjata di Masjidil Haram, tempat suci umat Islam, mengguncang dunia. Peristiwa ini melibatkan ratusan penyerang yang meneror ribuan jamaah yang sedang melaksanakan sholat Subuh.
Peristiwa ini meninggalkan luka mendalam bagi umat Islam di seluruh dunia. Kejadian tersebut menimbulkan pertanyaan mendalam tentang motif dan dampak dari aksi kekerasan ekstrem yang mencoreng kesucian tempat ibadah.
Kronologi Kudeta Masjidil Haram 1979
Juhaiman al-Utaybi, seorang penceramah karismatik berusia 40 tahun, menjadi dalang di balik pemberontakan ini. Mengutip BBC, aksi tersebut terjadi pada 20 November 1979, setelah sholat Subuh.
Kelompok Juhaiman menerobos Masjidil Haram. Mereka merebut mikrofon dari imam dan menempatkan peti mati tertutup di tengah halaman, menciptakan suasana mencekam.
Peti mati tersebut ternyata berisi senjata api. Para penyerang kemudian mengambil senjata dan memulai aksinya.
Khaled al-Yami, anggota kelompok Juhaiman, mengumumkan kedatangan Imam Mahdi. Ia mengklaim bahwa Mohammad bin Abdullah al-Qahtani, yang hadir di tengah jamaah, adalah sosok yang ditunggu-tunggu tersebut.
Juhaiman memerintahkan penutupan gerbang Masjidil Haram. Ia mengambil posisi sebagai penembak jitu di menara tinggi, mengawasi dan memberi perintah kepada para pengikutnya.
Bentuk Protes terhadap Arab Saudi yang Modern
Abdel Moneim Sultan, seorang mahasiswa Mesir yang menjadi saksi mata, menggambarkan suasana panik dan ketakutan yang melanda jamaah. Kejadian ini sangat mengejutkan karena sangat tidak biasa terjadi di tempat suci tersebut.
Para penyerang berasal dari kelompok ultra-konservatif Muslim Sunni bernama al-Jamaa al-Salafiya al Muhtasiba (JSM). Mereka memprotes apa yang mereka anggap sebagai kemerosotan nilai-nilai agama dan sosial di Arab Saudi yang semakin modern.
Sultan, yang mengenal beberapa pengikut Juhaiman, merasa kebingungan. Ia tidak setuju dengan penggunaan kekerasan yang bertentangan dengan ajaran Islam. Ia menggambarkan rasa ngeri yang dirasakan para jamaah melihat aksi-aksi kekerasan tersebut.
Siapakah Juhaiman dan al-Qahtani Itu?
Usama al-Qusi, seorang siswa yang sering bertemu Juhaiman, menceritakan bahwa Juhaiman dulunya adalah mantan penyelundup narkoba yang kemudian bertobat dan menjadi penceramah yang karismatik.
Juhaiman memandang Arab Saudi telah rusak oleh kepentingan duniawi dan bisnis. Ia mencari keselamatan di surga, dan meyakini bahwa al-Qahtani adalah Imam Mahdi.
Al-Qahtani, seorang penceramah muda yang dikenal lembut dan sopan, memiliki ciri-ciri yang diyakini Juhaiman sesuai dengan gambaran Imam Mahdi. Hubungan mereka semakin erat setelah kakak al-Qahtani menikah dengan Juhaiman.
Latar belakang militer Juhaiman sebagai mantan anggota Garda Nasional memberinya keahlian dalam merencanakan dan menjalankan pemberontakan bersenjata. Hal ini tampak dari strategi yang diterapkan selama penyerangan di Masjidil Haram.
Akhir Pemberontakan Juhaiman di Masjidil Haram
Pemberontakan berlangsung selama beberapa hari. Pasukan keamanan Arab Saudi mengerahkan berbagai pasukan khusus, termasuk pasukan terjun payung, namun masih kesulitan melumpuhkan para pemberontak.
Para pemberontak menggunakan taktik gerilya, bersembunyi di balik tiang dan memanfaatkan asap tebal dari ban dan karpet yang dibakar. Mereka melawan dengan sengit.
Setelah berbagai upaya gagal, Raja Khaled mengizinkan penggunaan kekuatan penuh untuk menumpas pemberontakan. Namun, penggunaan rudal dan tank masih belum cukup efektif.
Arab Saudi meminta bantuan Prancis untuk menyusun strategi baru. Prancis menyarankan penggunaan gas di ruang bawah tanah Masjidil Haram. Strategi ini akhirnya berhasil melumpuhkan para pemberontak dan mengakhiri pengepungan Masjidil Haram.
Peristiwa ini merupakan tragedi kelam yang menorehkan sejarah kelam bagi Makkah. Meskipun berhasil dipadamkan, peristiwa ini menyoroti pentingnya pemahaman yang benar tentang agama dan bahaya ekstrimisme. Peristiwa ini juga menjadi pengingat akan kerapuhan keamanan dan pentingnya menjaga kesucian tempat-tempat ibadah.