Royalti Konser: Tanggung Jawab Penyelenggara, Bukan Penyanyi?

Direktur Jenderal Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham), Razilu, menegaskan bahwa pembayaran royalti lagu untuk acara komersial merupakan tanggung jawab penyelenggara acara, bukan penyanyi atau musisi. Hal ini disampaikannya dalam sidang uji materi UU Hak Cipta di Mahkamah Konstitusi pada Senin (30/6/2025).
Pernyataan tersebut disampaikan sebagai tanggapan terhadap gugatan yang diajukan oleh sejumlah musisi terkait hak cipta dan royalti. Peraturan mengenai pembayaran royalti melalui Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) menjadi fokus utama dalam persidangan tersebut.
Tanggung Jawab Pembayaran Royalti
Menurut Razilu, Undang-Undang Hak Cipta mengatur pembayaran royalti untuk penggunaan lagu secara komersial. Penggunaan lagu komersial membutuhkan izin atau pembayaran royalti melalui LMKN.
Pasal 23 ayat (5) dan Pasal 87 UU Hak Cipta mengatur bahwa penyelenggara acara komersial cukup membayar royalti satu kali melalui LMKN. LMKN kemudian akan mendistribusikan royalti tersebut kepada pencipta dan pemilik hak terkait.
Besaran royalti untuk konser telah ditetapkan, minimal 2 persen dari hasil kotor penjualan tiket. Penyelenggara acara atau pemilik tempat usaha bertanggung jawab atas pembayaran, bukan penyanyi atau musisi, kecuali mereka juga bertindak sebagai penyelenggara.
Mekanisme Lisensi dan Peran LMKN
Setelah membayar royalti melalui LMKN, pengguna hak cipta tidak perlu lagi meminta izin langsung dari pencipta lagu atau pemegang hak cipta. Sistem ini dirancang untuk menyederhanakan proses dan memastikan distribusi royalti yang adil.
Meskipun demikian, UU Hak Cipta juga memberikan pilihan lisensi langsung (direct licensing) bagi pencipta yang tidak bergabung dengan LMKN. Namun, Pasal 87 ayat (1) UU Hak Cipta mendorong pencipta untuk bergabung dengan LMKN agar mendapatkan imbalan yang wajar.
LMKN berfungsi sebagai jembatan antara pencipta dan pengguna hak cipta, mengelola hak ekonomi, menghimpun, dan mendistribusikan royalti secara adil dan transparan. Lembaga ini bersifat nirlaba.
Perdebatan Terkait Lisensi Langsung
Hakim Konstitusi Arsul Sani mempertanyakan batasan bagi pencipta yang memilih lisensi langsung sesuai Pasal 81 UU Hak Cipta. Ia mempertanyakan apakah pencipta dapat menetapkan sendiri besaran royalti dan ketentuan lainnya.
Arsul Sani mencontohkan kemungkinan pencipta memberikan izin kepada penyanyi tertentu sementara melarang penyanyi lain. Pertanyaan ini menimbulkan diskusi mengenai keadilan dan transparansi dalam sistem lisensi langsung.
Pemerintah diminta untuk memberikan penjelasan lebih lanjut terkait mekanisme dan batasan lisensi langsung agar tidak menimbulkan penafsiran yang beragam dan merugikan pihak terkait. Hal ini penting untuk memastikan keadilan bagi semua pihak.
Persidangan ini menandai upaya untuk memberikan kepastian hukum terkait hak cipta dan royalti di Indonesia. Harapannya, putusan Mahkamah Konstitusi akan menciptakan sistem yang lebih adil dan transparan bagi semua pihak yang terlibat dalam industri musik.
Kasus-kasus seperti pelarangan Once Mekel membawakan lagu Dewa dan larangan T’Koes Band mementaskan lagu Koes Plus menunjukkan pentingnya regulasi yang jelas dan efektif dalam menangani sengketa hak cipta. Kejelasan regulasi ini diharapkan dapat mencegah perselisihan serupa di masa mendatang.