Olahraga

Rolex vs Ayam Tiren: Realita Pahit Kesenjangan Atlet Indonesia?

Pemberian jam tangan Rolex oleh Presiden Prabowo Subianto kepada Timnas Indonesia usai kemenangan atas China dalam Kualifikasi Piala Dunia 2026, memicu kontroversi. Aksi apresiasi ini awalnya disambut positif, namun menimbulka kritikan dari kalangan atlet lain.

Mantan atlet wushu nasional, Lindswell Kwok, mengungkapkan ketimpangan dukungan pemerintah terhadap cabang olahraga. Ia menilai sepak bola mendapat perhatian berlebih karena popularitas, bukan semata prestasi.

Lindswell mempertanyakan keadilan pemerintah dalam memfasilitasi atlet. Ia menyebut pemberian jam tangan mewah sebagai contoh politisasi olahraga yang menciptakan kesenjangan.

Ketimpangan Alokasi Anggaran Olahraga

Sepak bola memang cabang olahraga paling populer di Indonesia. Pemerintah pusat dan daerah cenderung lebih agresif mendukung event sepak bola dibanding cabang lain.

Anggaran untuk sepak bola nyaris mencapai Rp200 miliar tahun ini. Bandingkan dengan cabang olahraga lain yang hanya menerima Rp10-30 miliar.

Perbandingan ini sangat mencolok, mengingat atlet non-sepak bola kerap meraih prestasi internasional dan mengharumkan nama Indonesia di ajang bergengsi.

Kisah Pilu Atlet Binaraga di Malang

Atlet binaraga di Kabupaten Malang, Jawa Timur, mengalami kesulitan dalam pemenuhan kebutuhan nutrisi. Mereka terpaksa mengonsumsi “ayam tiren,” ayam mati yang sudah disimpan lama, untuk mencukupi kebutuhan protein.

Ketua PBFI Kabupaten Malang, Indra Khusnul, mengungkapkan dana pemerintah hanya mencukupi 10% kebutuhan. Ia bahkan harus menanggung biaya pribadi demi keberlangsungan latihan atlet.

Kondisi ini menyoroti ketidakadilan dalam pembagian sumber daya. Para atlet terpaksa mengambil risiko kesehatan demi mengejar prestasi.

Kontras Tajam: Rolex vs Ayam Tiren

Kontras antara pemberian jam tangan mewah kepada Timnas dan kondisi memprihatinkan atlet binaraga sangat mencolok. Situasi ini mencerminkan ketidakadilan dalam sistem pengelolaan olahraga.

Popularitas, bukan prestasi, yang nampaknya menjadi penentu besarnya dukungan. Sistem yang seharusnya mendorong prestasi, justru tampak memberi keuntungan pada popularitas semata.

Lindswell menegaskan kritiknya bukan ditujukan pada atlet sepak bola atau penggemarnya. Ia menyoroti kegagalan pemerintah dalam mengalokasikan dukungan secara merata.

Ia juga menyayangkan pemulangan atlet junior Pelatnas Youth Olympic Games 2026 lewat Zoom karena alasan efisiensi anggaran. Ketidakadilan ini terlihat dari hulu hingga hilir.

Menuju Keadilan dan Pemerataan

Agar semua atlet diperlakukan adil, pemerintah perlu menerapkan sistem anggaran berbasis prestasi, bukan popularitas. Transparansi alokasi dana antar cabang olahraga juga krusial.

Insentif bagi pelatih dan atlet daerah serta monitoring dan akuntabilitas distribusi fasilitas sangat penting. Kemenpora dan KONI perlu berperan lebih besar mendorong pemerataan dan membuka ruang aspirasi.

Kejadian ini seharusnya menjadi momentum perubahan sistem. Jangan sampai hanya menjadi perbincangan media sosial yang kemudian dilupakan.

Reaksi publik beragam, ada yang mendukung kritik Lindswell, ada pula yang menyayangkan kritik tersebut muncul di momen positif Timnas. Namun, diskusi mengenai prioritas dan keadilan dalam pembangunan olahraga sangat penting.

Olahraga seharusnya menjadi alat pemersatu dan kebanggaan bangsa. Semua atlet, sepak bola, binaraga, wushu, atletik, berhak mendapat apresiasi yang adil dan bermartabat. Jangan sampai ada atlet yang harus makan ayam tiren demi mengejar mimpi.

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button