Berita

Reza Pahlavi: Pemimpin Transisi Iran? Aksi Jalanan Memanas

Gelombang seruan untuk menggulingkan pemerintahan Republik Islam Iran kembali menggema. Baik kelompok oposisi dalam maupun luar negeri mendesak masyarakat Iran turun ke jalan. Namun, situasi geopolitik yang tegang, terutama dengan serangan-serangan Israel terhadap Iran, menciptakan dinamika yang kompleks dan memunculkan beragam respon dari masyarakat sipil.

Di tengah situasi ini, muncul berbagai suara yang berbeda, mencerminkan fragmentasi dan perbedaan pendapat di kalangan oposisi serta kehati-hatian warga Iran sendiri terhadap ancaman konflik yang semakin meningkat.

Reza Pahlavi dan Seruan Transisi Politik

Reza Pahlavi, putra mendiang Shah Iran, menyatakan momentum perubahan politik di Iran telah tiba. Ia bahkan menyatakan kesiapannya memimpin transisi tersebut.

Seruan Pahlavi mendapat dukungan dari beberapa kelompok oposisi di luar negeri, termasuk organisasi separatis Kurdi dan Baluchi. Namun, dukungan dari dalam negeri masih belum tampak signifikan.

Kehati-hatian Masyarakat Sipil Iran

Atena Daemi, seorang aktivis HAM yang pernah dipenjara di Iran, menyatakan bahwa kondisi saat ini tidak memungkinkan demonstrasi besar-besaran. Bahaya yang dihadapi masyarakat sipil terlalu besar.

Pendapat serupa disampaikan Narges Mohammadi, peraih Nobel Perdamaian. Ia mengimbau agar tidak terjadi kerusakan di kota Teheran, menanggapi imbauan pengungsian dari Israel.

Beberapa aktivis lain yang diwawancarai juga menyatakan keraguan mereka untuk berpartisipasi dalam demonstrasi besar-besaran. Mereka lebih memprioritaskan keselamatan diri dan keluarga di tengah situasi yang penuh risiko.

Seorang mantan mahasiswa yang pernah dipenjara karena protes tahun 2022, meski mendukung perubahan rezim, menolak seruan demonstrasi yang berasal dari luar negeri. Ia menuding pihak asing hanya mementingkan kepentingan sendiri.

Fragmentasi Oposisi dan Tantangan Persatuan

Selain Reza Pahlavi, Organisasi Mujahidin Rakyat Iran (MEK/MKO) merupakan faksi oposisi lain yang cukup berpengaruh. Namun, kelompok ini masih dibayangi kontroversi terkait tuduhan pelanggaran HAM dan keterlibatan dalam Perang Iran-Irak.

Maryam Rajavi, pemimpin Dewan Perlawanan Nasional Iran, menyatakan penolakan terhadap kembalinya sistem monarki. Hal ini semakin menegaskan fragmentasi di antara kelompok-kelompok oposisi.

Kurangnya kesatuan di kalangan oposisi menjadi hambatan serius. Banyak warga Iran, terutama generasi muda, yang kurang mengenal masa sebelum revolusi 1979, sehingga dukungan terhadap kelompok-kelompok oposisi luar negeri masih belum jelas.

Sejarah Protes dan Akar Permasalahan

Iran telah menyaksikan berbagai gelombang protes dalam beberapa dekade terakhir. Protes tahun 2009 dipicu dugaan kecurangan pemilu. Protes tahun 2017 berfokus pada krisis ekonomi. Sedangkan protes 2022 dipicu kematian Mahsa Amini dan menyoroti isu hak-hak perempuan.

Mir-Hossein Mousavi, tokoh reformis yang menjadi simbol gerakan 2009, masih menjalani tahanan rumah. Ia mengupayakan reformasi sistem, bukan penggulingan total.

Di sisi lain, rezim Iran juga mempersiapkan diri menghadapi potensi demonstrasi. Aparat keamanan telah disiagakan untuk menjaga stabilitas.

Serangan Israel juga menciptakan ketakutan dan kemarahan di kalangan masyarakat sipil Iran, baik terhadap pemerintah Iran maupun Israel itu sendiri.

Situasi perang Israel-Iran yang memanas menyisakan banyak pertanyaan. Siapa yang akan memimpin gerakan rakyat? Kapan waktu yang tepat untuk turun ke jalan? Dan agenda perubahan apa yang akan diperjuangkan? Semua masih menjadi tantangan besar.

Ketegangan geopolitik, fragmentasi oposisi, dan kehati-hatian masyarakat sipil Iran membuat masa depan politik negara tersebut masih belum jelas. Dinamika ini memerlukan pengamatan yang cermat dan analisis yang mendalam.

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button