Berita

Rahasia Penyadapan: Batas Konstitusional Kekuasaan Negara

Kekuasaan absolut hanya dimiliki oleh penguasa yang tak terikat aturan. Dalam sistem demokrasi konstitusional, setiap wewenang negara harus bertanggung jawab, berlandaskan hukum, dan melindungi hak asasi manusia.

Debat mengenai penyadapan oleh Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung) belakangan ini menjadi sangat relevan. Perjanjian kerja sama Kejagung dengan empat operator telekomunikasi besar menimbulkan pertanyaan serius tentang batas kewenangan negara dalam hal privasi warga.

Kewenangan Kejaksaan Menyadap: Antara Legalitas dan Hak Asasi

Kejaksaan Agung baru-baru ini menandatangani nota kesepahaman (MoU) dengan Telkom, Telkomsel, Indosat, dan XL. MoU tersebut memberikan akses kepada Kejagung terhadap data pertukaran dan potensi penggunaan alat sadap untuk penegakan hukum.

Langkah ini memicu kontroversi publik. Bukan karena upaya Kejagung memburu pelaku kejahatan, melainkan karena keraguan atas legalitas dan pengawasan penyadapan tersebut.

Pertanyaan mendasar muncul: apakah Kejaksaan berwenang menyadap? Dan jika ya, adakah landasan hukum yang kuat dan mekanisme pengawasan yang efektif?

Landasan Hukum yang Tidak Jelas dan Putusan Mahkamah Konstitusi

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021 tentang Perubahan atas UU Kejaksaan, Pasal 30B dan 30C, memang memberikan tugas intelijen penegakan hukum kepada Kejaksaan. Pasal 30C huruf i secara eksplisit menyebutkan kewenangan penyadapan.

Namun, pencantuman “penyadapan” dalam undang-undang tersebut tidak disertai pengaturan detail. Hal ini bertentangan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 5/PUU-VIII/2010.

Mahkamah Konstitusi menekankan perlunya undang-undang khusus dan tegas mengatur penyadapan. Ini karena penyadapan membatasi hak konstitusional warga, khususnya hak atas rasa aman dan perlindungan diri (Pasal 28G UUD 1945).

UU Kejaksaan, dalam hal ini, belum memenuhi syarat konstitusional karena masih berupa norma yang kabur dan multitafsir. Prosedur, syarat, durasi, pengawasan, dan mekanisme akuntabilitas penyadapan masih belum jelas.

Konstitusi, Privasi Warga, dan Syarat Pembatasan Hak

Hak privasi merupakan bagian integral dari martabat kemanusiaan dalam negara hukum demokratis. Pasal 28G ayat (1) UUD 1945 melindungi hak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda.

Penyadapan, sebagai bentuk intersepsi informasi, jelas membatasi hak ini. Konstitusi mengizinkan pembatasan hak, tetapi dengan syarat.

Syarat pertama, pembatasan dilakukan oleh undang-undang yang ketat dan jelas (lex certa dan lex stricta). Kedua, pembatasan harus proporsional terhadap tujuan yang sah dan demokratis.

Ketiga, harus ada pengawasan lembaga independen, biasanya pengadilan, untuk mencegah penyalahgunaan. MoU Kejaksaan dengan operator telekomunikasi belum memenuhi syarat-syarat tersebut.

MoU bukan produk legislasi. Belum diatur siapa yang berwenang memberi izin, durasi penyadapan, sasaran penyadapan, dan bagaimana hasil penyadapan disimpan dan dimusnahkan.

Meskipun mengacu pada Pasal 30C UU Kejaksaan, MoU tetap menimbulkan kekhawatiran karena belum ada UU teknis penyadapan seperti yang diamanatkan Mahkamah Konstitusi.

Tanpa kontrol, penyadapan bisa menjadi alat kekuasaan yang menakutkan, digunakan untuk mengintai lawan politik, atau bahkan menjadi komoditas kekuasaan.

Urgensi Pengaturan Hukum Penyadapan dan Rekomendasi ke Depan

Sejak 2010, Mahkamah Konstitusi telah merekomendasikan pembentukan Undang-Undang tentang Penyadapan. Hingga pertengahan 2025, RUU Penyadapan belum juga disahkan.

Pembahasan RKUHAP pun belum memberikan pengaturan presisi terkait penyadapan oleh berbagai institusi, termasuk Kejaksaan. Kondisi ini menciptakan celah regulasi (regulatory gap).

Banyak institusi berwenang menyadap (KPK, BIN, Polri, Kejaksaan), namun tanpa kerangka hukum tunggal yang komprehensif. Negara harus hadir dan tidak membiarkan hak konstitusional warga bergantung pada kesepakatan teknis antar lembaga.

Kejaksaan perlu menahan diri untuk tidak melakukan penyadapan sebelum ada landasan hukum yang memadai. MoU tidak cukup sebagai dasar hukum yang sahih untuk membatasi hak warga.

DPR dan Pemerintah harus segera membahas dan mengesahkan RUU Penyadapan dengan prinsip kehati-hatian, pembatasan yang jelas, serta keterlibatan pengadilan dalam pemberian izin.

Kejaksaan Agung perlu membuka kepada publik mekanisme kerja penyadapan, termasuk protokol izin internal, batas waktu, dan akuntabilitas penggunaannya.

Penyadapan bukan hanya soal kemampuan teknis, tetapi juga legitimasi konstitusional. Kejaksaan harus tunduk pada konstitusi sebagai norma tertinggi.

Konstitusi tidak melarang penyadapan, tetapi menuntut penjelasan yang adil, legal, dan proporsional mengenai dasar, batas, dan prosedurnya jika hak warga akan dibatasi.

Penyadapan adalah kewenangan, namun kewenangan tanpa batas bukanlah keadilan. Perlu diingat, keseimbangan antara penegakan hukum dan perlindungan hak asasi warga harus tetap dijaga.

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button