Site icon Metro Kompas

Polemik 4 Pulau Aceh: Jokowi, Pahlawan atau Penjahat?

Polemik 4 Pulau Aceh: Jokowi, Pahlawan atau Penjahat?

Sumber: Kompas.com

Sebuah pola menarik terlihat dalam beberapa peristiwa nasional baru-baru ini. Munculnya isu kontroversial, memantik reaksi publik yang kuat, kemudian disusul oleh sosok yang tampil sebagai penyelamat. Ini menimbulkan pertanyaan mendalam tentang kepemimpinan dan pengelolaan narasi publik di era digital.

Beberapa contoh nyata terlihat jelas. Kasus dugaan alih kepemilikan empat pulau strategis di Aceh, wacana pembatasan penjualan gas elpiji 3 kilogram melalui agen resmi, hingga pencabutan izin tambang di Raja Ampat, semuanya menampilkan pola yang serupa.

Sosok Penyelamat di Tengah Badai Isu

Dalam berbagai peristiwa tersebut, Presiden Prabowo Subianto kerap muncul sebagai figur yang mengambil langkah tegas. Pernyataannya yang membela Aceh atas isu kepemilikan pulau, pembatalan kebijakan pembatasan elpiji 3 kilogram, dan penolakan percepatan pengangkatan ASN, semuanya memberikan kesan negara hadir dan membela rakyat.

Peristiwa serupa juga pernah terjadi pada 2019 saat revisi UU KPK memicu protes besar-besaran. Presiden Joko Widodo saat itu merespon dengan menolak poin-poin krusial dalam revisi tersebut.

Baik Prabowo maupun Jokowi, dalam momen-momen tersebut, berhasil membentuk citra sebagai pemimpin yang responsif dan berpihak pada rakyat.

Narasi Politik di Era Digital

Namun, repetisi pola ini memunculkan pertanyaan kritis. Apakah ini murni kepemimpinan yang responsif, atau bagian dari strategi komunikasi politik yang terencana?

Di era media sosial, narasi yang dibangun memiliki kekuatan luar biasa dalam membentuk persepsi publik. Tim komunikasi politik kini berperan vital dalam mengelola citra pemimpin.

Respon cepat berupa video klarifikasi, pernyataan tegas, hingga kunjungan lapangan, bukanlah lagi kejutan, melainkan bagian dari strategi terencana.

Bahkan, kebijakan yang gagal pun dapat dikemas sebagai keberhasilan seorang pemimpin yang mendengar suara rakyat.

Transparansi atau Dramatisasi?

Pertanyaan kunci kini bergeser pada peran *digital public relations*. Apakah fungsinya untuk menciptakan transparansi, atau justru menyutradarai sebuah dramatisasi politik?

Kecepatan algoritma media sosial dan kemudahan pemantik emosi publik, membuat narasi dapat menggantikan substansi. Publik terkesan dengan sosok penyelamat, namun seringkali melupakan akar permasalahan.

Etika kepemimpinan dan etika komunikasi publik menjadi penting untuk menganalisis fenomena ini. Pemimpin yang etis bertindak dengan integritas dan komitmen jangka panjang, bukan hanya menunggu krisis untuk kemudian muncul sebagai pahlawan.

Studi terbaru menekankan pentingnya keteladanan moral dan konsistensi nilai dalam membangun kepercayaan publik terhadap institusi politik.

Dari perspektif etika komunikasi, *public relations* seharusnya berfokus pada penyampaian informasi jujur dan akurat, bukan sekadar pemolesan citra.

Penelitian menunjukkan hubungan erat antara etika komunikasi dengan integritas institusi. Kejujuran dalam komunikasi menciptakan budaya organisasi yang lebih kuat dan bertanggung jawab.

Kepercayaan publik hanya dapat tumbuh di atas dasar kejujuran dan nilai-nilai. Jika kepercayaan dibangun di atas skenario, maka ia akan rapuh dan mudah runtuh. Munculnya ‘pahlawan dadakan’ secara berulang tanpa transparansi proses, seharusnya menimbulkan kecurigaan publik.

Kita perlu bertanya: siapa yang menulis naskah ini? Untuk siapa panggung ini dibuat? Dan yang terpenting, apa manfaatnya bagi rakyat yang semakin berat hidup?

Sudah saatnya kita menuntut transparansi dan akuntabilitas. Demokrasi membutuhkan pemimpin sejati, bukan sekadar pemeran utama dalam sandiwara politik yang terencana.

Exit mobile version