Berita

Pemilu Serentak Dihapus? Beban Berat, Solusi Cerdas?

Mahkamah Konstitusi (MK) telah memutuskan pemilu nasional dan daerah akan dipisah mulai Pemilu 2029. Putusan ini bukan sekadar soal teknis logistik, melainkan sebuah refleksi mendalam terhadap sistem demokrasi Indonesia. Apakah sistem pemilu kita saat ini sudah cukup manusiawi dan truly mewakili kehendak rakyat? Pertanyaan ini perlu dikaji secara seksama.

Sistem pemilu serentak yang diterapkan sebelumnya didasarkan pada gagasan mulia sinkronisasi pembangunan. Harapannya, pemimpin nasional dan daerah yang dilantik bersamaan akan menciptakan harmoni perencanaan pembangunan. Namun, realitas berkata lain.

Beban Demokrasi Serentak: Kelelahan dan Ketidakefisienan

Pemilu serentak 2019 menjadi bukti betapa beratnya beban sistem ini. Rakyat Indonesia dituntut memilih presiden, DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dalam satu hari. Jumlah calon yang sangat banyak dan waktu pencoblosan yang terbatas menyebabkan pemilih kelelahan dan bingung.

Hal ini mengakibatkan suara rakyat kehilangan ketajaman. Pilihan politik lebih dipengaruhi oleh kelelahan dan ketidaktahuan, bukan ideologi atau gagasan. Tragedi pun terjadi. Lebih dari 894 petugas KPPS meninggal dunia akibat kelelahan, sementara ribuan lainnya jatuh sakit. Demokrasi seharusnya tidak menuntut pengorbanan sebesar itu.

Wakil Ketua MK, Saldi Isra, menyoroti kejenuhan pemilih sebagai ancaman serius. Fokus pemilih terpecah, sementara waktu terbatas. Sistem yang semula dianggap efisien ternyata tidak efektif. Masa kerja KPU pun menjadi tidak efisien, hanya maksimal dua tahun dari total lima tahun masa jabatan.

Menuju Sistem Pemilu yang Lebih Manusiawi

Keputusan MK memisahkan pemilu nasional dan daerah diharapkan mampu mengurangi beban tersebut. Namun, hal ini juga menghadirkan tantangan baru. Bagaimana pemerintah pusat mengorkestrasi pembangunan daerah jika kepala daerah tidak lagi dilantik bersamaan dengan presiden?

Risiko fragmentasi agenda pembangunan perlu diantisipasi. Sinkronisasi perencanaan pembangunan bisa menjadi rumit. Namun, tantangan ini dapat diatasi dengan inovasi tata kelola. Harmonisasi tidak harus dilakukan secara serempak, tetapi melalui visi strategis yang sama.

Perencanaan jangka menengah, pembagian peran yang lebih presisi, dan sistem insentif-fiskal yang terukur, dapat menyatukan pusat dan daerah dalam satu irama, meski berbeda tempo. Negara-negara federal seperti Jerman dan Kanada telah membuktikan bahwa sinkronisasi tak bergantung pada jadwal Pilkada. Yang penting adalah forum dialog antar-pemerintah yang rutin, data bersama, dan akuntabilitas program lintas level.

Mencari Keseimbangan: Efisiensi dan Kualitas Demokrasi

Pemisahan pemilu nasional dan daerah bukanlah solusi sempurna. Tantangan anggaran akan muncul. Namun, demokrasi yang sehat memang tak pernah murah. Populisme murahan atau otoritarianisme yang menyamar sebagai efisiensi jauh lebih berbahaya.

Banyak negara, seperti Amerika Serikat dan Jerman, telah menerapkan sistem pemilu yang memisahkan pemilihan tingkat nasional dan lokal. Mereka memprioritaskan kualitas partisipasi dan fokus pemilih. Indonesia perlu belajar dari pengalaman negara lain.

Putusan MK ini memberikan kesempatan untuk memperbaiki sistem demokrasi kita. Ini adalah jeda untuk memperbaiki sistem agar rakyat bisa kembali memaknai suara mereka dengan lebih tenang dan mendalam. Bukan hanya mencoblos, tapi memahami, menimbang, dan mempercayai. Semoga dari proses ini, kita bisa mendapatkan demokrasi yang lebih baik, lebih manusiawi, dan lebih mencerahkan.

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button