Meta Diduga Tunda Gaji Karyawan Demi Proyek AI Zuckerberg

Bos Meta, Mark Zuckerberg, baru-baru ini menjalin kerjasama dengan Scale AI dalam upaya meningkatkan kemampuan kecerdasan buatan (AI) Meta. Langkah ini dilakukan di tengah persaingan teknologi AI yang semakin ketat. Namun, kerjasama ini menimbulkan pertanyaan mengingat Scale AI sedang berada di bawah investigasi terkait isu kesejahteraan pekerjanya.
Scale AI merupakan perusahaan pelabelan data dan penyedia layanan AI yang memiliki valuasi hampir US$14 miliar. Perusahaan ini juga menyediakan platform bagi para peneliti AI untuk bertukar informasi, melibatkan kontributor dari lebih dari 9.000 kota di seluruh dunia. Meskipun memiliki reputasi yang cukup besar, Scale AI telah menghadapi berbagai kontroversi dan pengawasan.
Investigasi Departemen Tenaga Kerja AS
Sejak Agustus 2024, Departemen Tenaga Kerja AS (DOL) telah menyelidiki Scale AI terkait kepatuhannya terhadap Undang-Undang Standar Tenaga Kerja yang Adil. Investigasi ini mencakup dugaan upah yang tidak dibayar, kesalahan klasifikasi karyawan sebagai kontraktor, dan tindakan pembalasan terhadap pekerja. Investigasi ini bertujuan untuk memastikan Scale AI mematuhi praktik upah yang adil dan menciptakan kondisi kerja yang layak. Investigasi ini dimulai di bawah pemerintahan Presiden Joe Biden dan sempat dihentikan pada Mei lalu, sebelum kemudian dilanjutkan kembali.
Tuduhan Pengupahan Rendah dan Penundaan Pembayaran
Selain investigasi DOL, Scale AI juga menghadapi tuduhan membayar pekerja dengan upah sangat rendah, menunda atau menahan pembayaran secara rutin, dan menyediakan sedikit akses bagi pekerja untuk meminta bantuan. Tuduhan ini muncul berdasarkan wawancara dengan pekerja, pesan internal perusahaan, catatan pembayaran, dan laporan keuangan yang diperoleh oleh Washington Post.
Laporan tersebut menyebutkan bahwa hampir seluruh pekerja lepas saat ini dan mantan pekerja lepas yang diwawancarai mengalami penundaan, pengurangan, atau pembatalan pembayaran setelah menyelesaikan tugas. Banyak pekerja, yang dikenal sebagai “tasker,” melaporkan pendapatan jauh di bawah upah minimum, meskipun beberapa terkadang menerima pendapatan di atas upah minimum. Di Filipina misalnya, upah minimum berkisar antara US$6 hingga US$10 per hari, bergantung pada wilayahnya. Kondisi ini menimbulkan keprihatinan serius tentang eksploitasi tenaga kerja di sektor AI yang sedang berkembang pesat ini.
Isu Kesehatan Mental Pekerja
Masalah kesehatan mental pekerja juga menjadi sorotan. Scale AI, bersama platform tenaga kerja Outlier, digugat pada Januari lalu karena diduga gagal melindungi kesehatan mental para kontraktor yang bekerja untuk menyaring konten berbahaya dari model AI. Gugatan tersebut menuduh kedua perusahaan menyesatkan pekerja dan lalai dalam melindungi mereka dari paparan konten kekerasan dan berbahaya yang harus mereka tangani sebagai bagian dari pekerjaan mereka. Tugas pelabelan data ini mencakup berbagai hal, mulai dari menghubungkan kata-kata dengan gambar hingga mengidentifikasi permintaan input yang berbahaya. Kasus ini semakin menambah kompleksitas tantangan etika dan kesejahteraan pekerja dalam industri AI.
Gugatan lain juga diajukan terhadap Scale AI, Outlier, dan HireArt pada bulan Oktober terkait pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap 500 orang pada bulan Agustus. Gugatan tersebut menuduh perusahaan-perusahaan tersebut melanggar hukum ketenagakerjaan California. Semua ini menunjukkan bahwa kerjasama Zuckerberg dengan Scale AI terjadi di tengah berbagai masalah internal perusahaan tersebut.
Kerjasama Zuckerberg dengan Scale AI patut dipertanyakan mengingat berbagai isu pelanggaran ketenagakerjaan yang tengah dihadapi oleh perusahaan tersebut. Hal ini dapat berdampak negatif pada citra Meta dan menimbulkan pertanyaan tentang etika perusahaan dalam pemilihan mitra bisnis. Perlu adanya transparansi dan pengawasan yang ketat terhadap praktik ketenagakerjaan perusahaan-perusahaan AI untuk memastikan perlindungan hak-hak pekerja.