Gaya Hidup

Krisis Iklim: Ancaman Tak Kasat Mata Bagi Kesehatan Mental Kita

Krisis iklim memicu lebih dari sekadar bencana alam yang terlihat. Dampaknya meluas hingga ke kesehatan mental masyarakat, sebuah isu yang masih kurang mendapat perhatian.

Dampak Psikososial Krisis Iklim: Lebih dari Sekadar Bencana Alam

Studi terbaru di jurnal *Nature*, dipimpin Siqi Xue bersama Britt Wray dan Emma L. Lawrance, mengungkap dampak signifikan krisis iklim terhadap kesehatan mental. Penelitian ini merupakan *scoping review* pertama yang menganalisis intervensi psikososial dalam konteks perubahan iklim.

Studi ini menemukan berbagai gangguan psikologis yang dipicu oleh krisis iklim, termasuk depresi, kecemasan, dan PTSD.

Namun, penelitian ini juga mengungkap fenomena menarik yang disebut “climate emotions” atau emosi iklim.

Climate Emotions: Kecemasan dan Kesedihan Akibat Kesadaran akan Krisis Iklim

Climate emotions adalah emosi yang muncul bukan karena dampak langsung bencana, melainkan karena kesadaran akan krisis iklim. Ini mencakup kegelisahan akan masa depan, rasa bersalah karena kurang berkontribusi, dan ketakutan akan ketidakpastian.

Britt Wray, salah satu peneliti dan penulis buku *Generation Dread*, menyebutnya “eco-anxiety” atau kecemasan ekologis—rasa takut kronis akan bencana lingkungan yang ada dan akan datang.

Paparan informasi tentang krisis iklim, jika berlebihan tanpa diimbangi solusi, dapat memicu eco-anxiety dan melumpuhkan mental.

Riset American Psychological Association (APA) juga menyatakan bahwa narasi bencana tanpa solusi dapat meningkatkan rasa tidak berdaya.

Anak muda dan remaja adalah kelompok paling rentan. Studi *Lancet Planetary Health* (2021) menunjukkan lebih dari 45% anak muda merasa kecemasan iklim mempengaruhi kehidupan sehari-hari mereka.

Gejala umum climate emotions meliputi pikiran terus-menerus tentang bencana, perasaan putus asa saat membaca berita iklim, dan ketidakmampuan membayangkan masa depan positif.

Mengatasi Climate Emotions: Harapan dan Aksi sebagai Penangkal

Para ahli menganjurkan pendekatan berbasis harapan dan aksi. Fokus bukan hanya pada dampak buruk, tetapi juga pada langkah-langkah yang dapat diambil untuk mengatasi krisis ini.

Wray menekankan bahwa kecemasan iklim adalah respons sehat terhadap realitas yang tidak sehat.

Untuk mencegahnya menjadi gangguan serius, APA menyarankan membangun komunitas suportif, mengakses terapi, berpartisipasi dalam aksi lingkungan, dan mengatur konsumsi media.

Penelitian ini mendorong pengembangan pusat pengetahuan daring yang dapat menghimpun dan membagikan intervensi yang ada, serta memperkuat pembelajaran antar komunitas dan negara.

Kesimpulannya, menghadapi krisis iklim memerlukan pendekatan holistik, yang tidak hanya fokus pada mitigasi dan adaptasi lingkungan, tetapi juga pada dukungan psikososial bagi masyarakat, terutama generasi muda. Membangun harapan dan mendorong aksi kolektif menjadi kunci penting dalam mengatasi dampak psikososial krisis iklim.

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button