Bantahan Fadli Zon: Tragedi ’98, 52 Korban Pemerkosaan?

Menteri Kebudayaan Fadli Zon menuai kecaman luas atas pernyataannya yang kontroversial. Ia menyatakan tidak ada bukti pemerkosaan massal selama kerusuhan Mei 1998. Pernyataan ini disampaikan dalam program “Real Talk with Uni Lubis” pada 8 Juni 2025. Pernyataan tersebut langsung memicu reaksi keras dari berbagai pihak.
Pernyataan Fadli Zon bertentangan dengan temuan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) Kerusuhan Mei 1998. TGPF, yang dibentuk oleh beberapa menteri dan Jaksa Agung, terdiri dari unsur pemerintah, Komnas HAM, LSM, dan ormas. Laporan TGPF mencatat adanya kekerasan seksual dalam skala besar selama kerusuhan tersebut.
Laporan TGPF: Bukti Pemerkosaan Massal di Mei 1998
Laporan TGPF mencatat adanya kekerasan seksual di Jakarta, Medan, dan Surabaya selama kerusuhan Mei 1998. Temuan ini memperkuat bukti adanya kejahatan seksual sistematis.
TGPF mengklasifikasikan kekerasan seksual tersebut ke dalam empat kategori. Tercatat ada 52 korban pemerkosaan, 14 korban pemerkosaan disertai penganiayaan, 10 korban penyerangan/penganiayaan seksual, dan 9 korban pelecehan seksual.
Laporan tersebut juga mencatat adanya kekerasan seksual yang terjadi sebelum dan sesudah kerusuhan Mei 1998. Kasus-kasus ini memiliki kaitan erat dengan peristiwa kerusuhan.
TGPF menyimpulkan kekerasan seksual selama kerusuhan merupakan serangan terhadap martabat kemanusiaan. Hal ini telah menimbulkan trauma mendalam bagi para korban.
Faktor-faktor yang Mendorong Terjadinya Kekerasan Seksual
TGPF menganalisis adanya beberapa faktor penyebab terjadinya kekerasan seksual selama kerusuhan. Faktor tersebut antara lain adanya niat, peluang, dan pembentukan psikologi massa yang seolah membenarkan tindakan tersebut.
Situasi yang kacau dan anarki selama kerusuhan menciptakan peluang bagi pelaku untuk melakukan kekerasan seksual. Psikologi massa yang tercipta juga memicu terjadinya tindakan-tindakan tersebut secara meluas.
Jumlah korban pemerkosaan yang tercatat bisa jadi lebih rendah daripada jumlah sebenarnya. Hal ini disebabkan berbagai faktor, termasuk trauma mendalam yang dialami para korban sehingga enggan melapor.
Rasa takut, aib, dan kesulitan dalam membuktikan kekerasan juga menjadi hambatan dalam pencatatan korban.
Bantahan Sejarawan dan Tuntutan Permintaan Maaf
Sejarawan dan aktivis perempuan, Ita Fatia Nadia, menyebut pernyataan Fadli Zon sebagai dusta. Ia sendiri pernah terlibat dalam Tim Relawan Kemanusiaan Gus Dur pada masa kerusuhan tersebut.
Ita menceritakan pengalamannya menangani banyak kasus pemerkosaan di Jakarta saat kerusuhan Mei 1998. Pengalaman ini membuatnya sangat menyayangkan pernyataan Fadli Zon.
Ita menegaskan bahwa seorang menteri seharusnya berperan dalam penyembuhan trauma bangsa. Sebaliknya, Fadli Zon justru menyangkal dan mengingkari peristiwa tersebut.
Ia menuntut Fadli Zon meminta maaf kepada para korban. Peristiwa pemerkosaan di Mei 1998 telah menyebabkan trauma yang berkepanjangan.
Pernyataan Fadli Zon mengenai tidak adanya pemerkosaan massal di Mei 1998 telah menimbulkan kontroversi besar. Laporan TGPF yang mencatat puluhan korban pemerkosaan membantah klaim tersebut. Permintaan maaf dari Fadli Zon menjadi tuntutan penting untuk memberikan keadilan dan penyembuhan trauma bagi para korban. Peristiwa ini menjadi pengingat pentingnya akurasi dan tanggung jawab dalam berbicara mengenai peristiwa sejarah yang sensitif.