Indonesia dan Malaysia sepakat untuk mengelola bersama wilayah Laut Ambalat yang selama ini menjadi sengketa. Langkah ini dinilai sebagai solusi rasional dan pragmatis oleh Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia, Hikmahanto Juwana. Namun, tantangan terbesar bukan lagi soal hukum internasional, melainkan pembagian keuntungan ekonomi secara adil bagi kedua negara.
Kerja Sama Eksplorasi dan Eksploitasi Laut Ambalat: Solusi _Joint Development_
Kesepakatan kerja sama eksplorasi dan eksploitasi sumber daya alam di Laut Ambalat menandai babak baru dalam hubungan Indonesia-Malaysia. Hikmahanto Juwana menekankan pentingnya kesepakatan _joint development_ yang saling menguntungkan. Kedua negara harus duduk bersama untuk merumuskan opsi-opsi yang memastikan _win-win solution_.
Tantangan utama terletak pada pembagian keuntungan ekonomi yang adil. Jangan sampai satu negara lebih diuntungkan daripada yang lain. Prinsip _win-win_ harus menjadi pedoman utama dalam pengelolaan bersama sumber daya alam di Laut Ambalat.
Opsi Penyelesaian Sengketa Laut Ambalat: Menuju Solusi Pragmatis
Terdapat beberapa opsi penyelesaian sengketa Ambalat. Opsi pertama adalah melalui pengadilan internasional, namun hal ini dinilai kurang memungkinkan mengingat pengalaman Indonesia dalam sengketa Sipadan-Ligitan. Opsi kedua adalah penggunaan kekuatan militer, yang jelas tidak rasional. Opsi ketiga adalah mempertahankan status quo, yaitu membiarkan wilayah tersebut tanpa pengelolaan dan kesepakatan.
Pemerintah Indonesia dan Malaysia memilih opsi keempat, yaitu _joint development_. Ini merupakan solusi tengah yang dianggap saling menguntungkan dan pragmatis, mengingat potensi ekonomi yang besar di wilayah tersebut. Prabowo Subianto dan Perdana Menteri Malaysia Anwar Ibrahim sepakat untuk memulai kerja sama ekonomi di wilayah yang tumpang tindih klaimnya.
Pengalaman Kerja Sama Indonesia dengan Negara Lain: Preseden untuk _Joint Development_
Skema kerja sama _joint development_ bukanlah hal baru bagi Indonesia. Indonesia telah memiliki pengalaman serupa dengan Australia di kawasan Timor Gap saat Timor Timur masih menjadi bagian dari Indonesia. Pengalaman ini menunjukkan bahwa _joint development_ dapat menjadi model yang efektif untuk pengelolaan sumber daya alam di wilayah yang disengketakan.
Dalam konteks Laut Ambalat, _joint development_ hanya akan diterapkan pada wilayah yang tumpang tindih klaimnya, bukan seluruh landas kontinen masing-masing negara. Konflik Ambalat sendiri berpusat pada landas kontinen (continental shelf), bukan laut teritorial atau batas wilayah laut di permukaan. Indonesia dan Malaysia masih belum menetapkan batas zona ekonomi eksklusif dan landas kontinen secara final.
Kesimpulannya, kesepakatan _joint development_ untuk pengelolaan Laut Ambalat merupakan langkah strategis bagi Indonesia dan Malaysia. Meskipun tantangan dalam pembagian keuntungan secara adil masih ada, pendekatan pragmatis ini menawarkan solusi yang lebih baik daripada opsi-opsi lain yang berpotensi menimbulkan konflik lebih lanjut. Keberhasilan kerja sama ini bergantung pada komitmen kedua negara untuk menciptakan keseimbangan dan saling menguntungkan. Pengalaman kerja sama sebelumnya dengan negara lain menjadi modal berharga dalam upaya ini.
