Misteri “Ok Sip”: Ahli Pidana vs Ahli Bahasa, Simak Sidang Hasto

Perdebatan sengit terjadi dalam sidang kasus dugaan suap dan perintangan penyidikan yang melibatkan Sekjen PDI Perjuangan, Hasto Kristiyanto. Pusat perdebatan berfokus pada interpretasi kata “ok sip” dalam pesan singkat, yang dinilai oleh ahli bahasa memiliki makna tersirat. Pendapat ahli hukum pidana pun turut dilibatkan untuk meluruskan kesimpangsiuran tersebut.
Kontroversi ini bermula dari penuturan kuasa hukum Hasto, Ronny Talapessy, yang menyoroti kesimpulan ahli bahasa mengenai kata “ok sip”. Ia mempertanyakan apakah interpretasi tersebut cukup kuat untuk mendakwa seseorang dalam kasus korupsi.
Perdebatan Makna “Ok Sip” dalam Konteks Hukum
Ahli hukum pidana dari Universitas Muhammadiyah Jakarta, Chairul Huda, memberikan penjelesan terkait penggunaan kata “ok sip” dalam konteks hukum pidana. Ia menegaskan, kata tersebut tidak dapat berdiri sendiri sebagai dasar dakwaan dalam kasus korupsi.
Menurut Chairul, ahli bahasa hanya mampu menganalisis makna harfiah suatu ujaran. Mereka tidak dapat menafsirkan konteks dan nuansa di balik pesan tersebut.
Penilaian konteks, lanjutnya, menjadi ranah ahli hukum. Hanya ahli hukum yang dapat menelaah situasi, pelaku, dan niat di balik percakapan.
Peran Ahli Bahasa dalam Kasus Hukum
Chairul Huda lebih lanjut menjelaskan batasan peran ahli bahasa dalam persidangan. Ia menekankan bahwa keahlian ahli bahasa lebih relevan dalam kasus-kasus yang berkaitan dengan ujaran kebencian atau “hate speech”.
Dalam kasus perintangan penyidikan atau korupsi, menurut Chairul, ahli hukum pidana yang lebih dibutuhkan. Ahli hukum pidana dapat menganalisis apakah tindakan yang dilakukan telah melanggar hukum pidana.
Dengan kata lain, pelibatan ahli bahasa dalam kasus Hasto Kristiyanto dinilai tidak relevan. Keahlian mereka kurang tepat dalam menganalisis konteks kasus dugaan perintangan penyidikan.
Kasus Hasto Kristiyanto: Dakwaan dan Ancaman Pidana
Hasto Kristiyanto didakwa melakukan perintangan penyidikan dalam kasus suap Harun Masiku. Ia diduga memerintahkan pemusnahan barang bukti, berupa telepon genggam.
Selain itu, Hasto juga didakwa memberikan suap kepada Wahyu Setiawan, anggota KPU, untuk memuluskan pergantian antarwaktu (PAW) Harun Masiku sebagai anggota DPR.
Atas dakwaan tersebut, Hasto terancam hukuman berdasarkan pasal 21 dan pasal 5 ayat (1) huruf a, atau pasal 13 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Ia juga terancam pasal 65 ayat (1) dan pasal 55 ayat (1) ke-1 jo. Pasal 64 ayat (1) KUHP.
Kesimpulannya, perdebatan seputar interpretasi “ok sip” menyoroti pentingnya membedakan peran ahli bahasa dan ahli hukum dalam proses peradilan. Kasus Hasto Kristiyanto sendiri tetap berfokus pada dakwaan utama, yakni perintangan penyidikan dan suap. Sidang akan terus berjalan untuk mengungkap kebenaran dan keadilan dalam kasus ini. Semoga proses peradilan berjalan objektif dan transparan.