Meta, Perusahaan AI Zuckerberg Diduga Tunda Pembayaran Gaji Karyawan

Mark Zuckerberg, CEO Meta, tengah berlomba dalam pertarungan teknologi AI dengan menggandeng Scale AI. Namun, langkah ini sedikit ternoda oleh investigasi yang sedang berlangsung terhadap Scale AI terkait isu kesejahteraan pekerjanya.
Scale AI, perusahaan label data dan penyedia layanan AI senilai hampir US$14 miliar, menyediakan platform bagi para peneliti AI untuk bertukar informasi. Perusahaan ini memiliki kontributor di lebih dari 9.000 kota di seluruh dunia. Kendati demikian, Scale AI telah menghadapi berbagai kontroversi.
Investigasi Departemen Tenaga Kerja AS
Sejak Agustus 2024, Departemen Tenaga Kerja AS (DOL) menyelidiki kepatuhan Scale AI terhadap Undang-Undang Standar Tenaga Kerja yang Adil. Undang-undang ini mengatur hal-hal krusial seperti upah yang tidak dibayar, kesalahan klasifikasi karyawan sebagai kontraktor, dan tindakan pembalasan ilegal terhadap pekerja. Investigasi ini meneliti praktik upah dan kondisi kerja di Scale AI.
Awalnya dimulai di bawah pemerintahan Joe Biden, investigasi ini sempat dihentikan oleh DOL pada Mei lalu, menurut laporan Reuters. Namun, berbagai isu lain terkait kesejahteraan pekerja terus mencuat.
Tuduhan Eksploitasi Pekerja
Pada tahun 2023, beredar kabar tentang pembayaran rendah, penundaan pembayaran rutin, dan minimnya saluran bantuan bagi pekerja Scale AI di luar negeri. Informasi ini berasal dari wawancara dengan pekerja, pesan internal perusahaan, catatan pembayaran, dan laporan keuangan yang diperoleh oleh Washington Post.
Dari 36 pekerja lepas saat ini dan mantan pekerja lepas yang diwawancarai Washington Post, hampir semuanya melaporkan penundaan, pengurangan, atau pembatalan pembayaran setelah menyelesaikan tugas. Para pekerja, yang sering disebut “tasker,” seringkali menerima upah jauh di bawah upah minimum, meskipun beberapa di antaranya terkadang mendapatkan upah di atas minimum. Sebagai perbandingan, upah minimum di Filipina berkisar antara US$6 hingga US$10 per hari.
Kelompok hak asasi manusia dan peneliti tenaga kerja mengkritik Scale AI dan perusahaan AI serupa di Amerika Serikat karena tidak mematuhi standar ketenagakerjaan dasar untuk pekerja luar negeri mereka. Kondisi ini menjadi sorotan serius terkait praktik etika dalam industri teknologi.
Masalah Kesehatan Mental Pekerja
Selain isu upah, Scale AI juga menghadapi gugatan terkait kesehatan mental para kontraktornya. Pada Januari lalu, Scale AI dan Outlier, sebuah platform tenaga kerja, digugat di pengadilan distrik federal AS di California utara. Gugatan tersebut menuduh kedua perusahaan lalai melindungi para pekerja dari paparan konten kekerasan dan berbahaya yang mereka hadapi selama pekerjaan pelabelan data.
Pekerjaan pelabelan data ini mencakup berbagai tugas, mulai dari mengasosiasikan kata dengan gambar hingga mengidentifikasi permintaan input yang berbahaya. Para pekerja terpapar konten yang berpotensi traumatis, dan gugatan tersebut mempertanyakan kegagalan perusahaan untuk menyediakan dukungan kesehatan mental yang memadai.
Gugatan terpisah di pengadilan federal pada Oktober juga menuding Scale AI, Outlier, dan HireArt melakukan PHK 500 orang pada Agustus, yang diduga melanggar hukum ketenagakerjaan California. Serangkaian gugatan ini mengungkap kerentanan pekerja di industri teknologi dan menuntut pertanggungjawaban perusahaan atas praktik ketenagakerjaan mereka.
Kolaborasi Zuckerberg dengan Scale AI menimbulkan pertanyaan tentang prioritas etika di tengah perlombaan AI. Meskipun teknologi AI menawarkan potensi besar, penting untuk memastikan bahwa perkembangannya tidak mengorbankan kesejahteraan pekerja yang terlibat dalam prosesnya. Perusahaan teknologi perlu memprioritaskan praktik ketenagakerjaan yang adil dan bertanggung jawab, dan memastikan perlindungan yang memadai bagi para pekerja mereka.
Kesimpulannya, kasus Scale AI menyoroti sisi gelap dari perkembangan pesat teknologi AI, menunjukkan betapa pentingnya pengawasan ketat dan penegakan standar etika yang kuat dalam industri ini untuk melindungi hak-hak pekerja.